Sekarang adalah zaman informasi, dan masa yang akan datang kehidupan akan semakin kompleks. Banyak orang-tua yang mencemaskan anaknya, apakah anaknya akan mampu bersaing dan sukses dimasa depan.

Sebenarnya hal ini wajar, melalui perasaan ini, membuat orang-tua memberikan pendidikan dan persiapan bekal hidup untuk anak-anaknya.

Yang tidak wajar adalah kecemasan berlebihan, sehingga dari sejak dini sang anak dijejali les ini dan les itu tanpa melihat kondisi anak yang sebenarnya masih perlu banyak waktu untuk bermain di luar.

Saran saya adalah jangan terlalu cemas berlebihan, yang penting kita lakukan adalah mendidiknya dan melatih kecerdasan emosionalnya secara berkala dan konsisten.

Yang harus kita sadari pertama adalah peranan orang-tua dalam mendidik anak untuk menjadi generasi rabbani adalah sangat penting dan paling utama.

Orang tua seharusnya tidak hanya sebagai mesin ATM bagi si anak yang ketika anak memerlukan uang sang ayah langsung memberikannya tanpa memperhatikan situasi dan kondisi apakah si anak memang benar-benar perlu atau tidak.

Saya ulangi, ayah dan ibu wajib untuk mendidik anak-anaknya sejak dari dalam kandungan.

Setelah kita menyadari itu, maka urusan kita adalah fokus mendidik mereka sebaik-baiknya dan tidak kalah pentingnya adalah mendoakannya.

Urusan masa depan mereka, bersandarlah kepada Allah Ta'ala semata. Urusan orang-tua hanyalah ikhtiar atau usaha mendidik dan mempersiapkan anak-anak menuju ke kehidupan selanjutnya, serta berharap, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta'ala sang Maha Pengatur alam semesta.

hasil dari membangun kecerdasan emosional pada anak


Membangun EQ (Kecerdasan emosional) anak dengan komunikasi yang baik


Penelitian, data, temuan, dan kesimpulan tentang EQ


Pada tahun 2006 dilakukan studi oleh Accenture.(1)  Mereka meneliti sekitar lebih dari 250 eksekutif sukses di enam negara. Rata-rata dari mereka menunjukkan bahwa semua aspek kecerdasan emosional dimiliki mereka. Contoh kecerdasan emosional yang ditemukan oleh lembaga ini adalah seperti kompetensi interpersonal, kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran akan kelebihan dan kekurangan, kesadaran sosial dalam arti dapat menempatkan dirinya pada lingkungan sekitarnya, dan lain lain.

Banyak juga lembaga lain meneliti hal yang sama dan juga menemukan kesimpulan yang sama, bahwa rata-rata orang yang sukses dalam kehidupan atau karirnya adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. IQ (kecerdasan intelegensi) tinggi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional akan percuma. Contohnya penelitian oleh Ernets O'Boyle di Virginia Commonwealth University.(2)

Oleh karena itulah sekarang, semakin banyak orang tersadar bahwa untuk sukses di masa depan, bukanlah dengan mencetak anak-anak yang memiliki IQ tinggi, memiliki prestasi akademis tinggi alias nilai ujian yang tinggi, namun harus juga dibarengi dengan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula.

Penanaman EQ melalui komunikasi dan pembiasaan sejak kecil


Intinya adalah bagaimana orang-tua mampu membentuk kepribadian anak dan konsep diri yang positif sebagai bahan bakar belajarnya. Jadi ada dua hal yang harus harmoni yaitu otak dan hati. Kedua-duanya harus diasah bersama-sama.

Mengasah hati dan pikiran itu akan menghasilkan anak yang mampu:

- menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,
- anak memiliki kepribadian yang baik dan menyenangkan,
- mampu menggunakan pengetahuan yang didapatnya dengan benar dan bijak,
- anak mampu memaksimalkan potensi dan bakat bawaannya secara mandiri,
- mampu bersaing secara positif dalam arti jika menang tidak sombong dan jika kalah tidak frustasi,
- memanfaatkan kepintarannya untuk hal yang berguna bagi lingkungannya,
- mampu berkomunikasi dengan baik, percaya diri sehingga tidak mudah menyerah dan tidak mudah putus asa.

Semua anak punya potensi yang sama, orang-tualah yang berperan besar


Semua anak yang lahir mempunyai potensi yang sama. Anak yang diasah kecerdasan emosionalnya sejak dini secara berkelanjutan dan konsisten, melalui pembiasaan dan latihan, akan menghasilkan anak yang akhirnya mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi, lebih tinggi dari anak-anak yang tidak atau kurang diasah kemampuannya sejak kecil.

Keterampilan komunikasi orang-tua kepada anak dalam membangun EQ anak


EQ dapat dibentuk melalui komunikasi antara orang-tua dan anaknya. Silakan melihat cara dan metode komunikasi yang diajarkan Nabi di artikel ini untuk melengkapi informasi pada artikel ini.

Dari keterampilan yang telah disebut di atas, secara garis besar EQ itu meliputi:

- kemampuan mengenali emosi diri,
- kemampuan mengelola emosi,
- kemampuan memotivasi diri,
- kemampuan mengenali emosi orang lain,
- kemampuan membina hubungan.

Bagaimana melatih kecerdasan emosional?

Untuk melatihnya, kunci utamanya adalah komunikasi. Melakukan komunikasi yang baik dan efektif antara orang tua dan anak menimbulkan kebiasaan yang baik, seperti:

- anak terlatih bertukar pendapat dengan orang lain (dalam hal ini orang tua),
- anak merasa dihargai dan diterima secara utuh,
- ia belajar juga untuk menghormati orang lain sebagaimana orang lain menghormati dirinya.

Saya sudah menulis tips berkomunikasi efektif dengan anak pada tulisan sebelumnya. Kali ini saya ingin melengkapi lagi bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anak.

Pertama adalah memancing anak mengungkapkan perasaannya, setelah ia mengungkapkan perasaannya secara terbuka, jadilah pendengar yang baik alias menunjukan empati dan menerima dengan tulus ungkapan perasaan dan pemikiran anak.

Caranya memancing perasaan anak, misalnya dengan metode pertanyaan sederhana, seperti menanyakan hal di bawah:

- Apa yang membuatmu senang di sekolah tadi?
- Siapa temanmu yang membuatmu tertawa tadi?
- Siapa temanmu yang membuatmu kesal tadi? apakah kamu memaafkannya?
- Siapa guru yang paling membuatmu senang dalam belajar?
- Pelajaran apa yang membuat kamu pusing tadi?
- Pelajaran apa yang paling kamu senangi tadi?
- Di jalan pulang, pemandangan atau pengalaman apa yang paling berkesan?
- Dan seterusnya.

Cara memancing perasaan anak yang lain, kita ceritakan dulu pengalaman kita (misalnya ayah yang ingin berdialog dengan anaknya) di kantor tadi, bagaimana repotnya tadi mengerjakan pekerjaan, namun setelah berusaha akhirnya bisa diselesaikan dengan baik, dan seterusnya. Lalu giliran kita berkata,"sekarang gantian dong, gimana pengalaman kamu tadi di sekolah?". Dan sebagainya.

Intinya adalah sebagai orang-tua, kita harus menunjukkan minat terhadap cerita anak. Untuk melengkapi informasi, baca sikap ketika berkomunikasi pada artikel sebelumnya.

Ketika anak nyaman bercerita dan orang-tua menjadi pendengar yang baik, kepekaan perasaan anak akan terbentuk dengan baik.

Sebagai tambahan, ketika mendengar cerita anak dengan tuntas, selalu masukkan nilai-nilai yang akan kita tanamkan kepada anak-anak, tawarkan solusi yang bisa anak lakukan, namun jangan memaksa, biarkan anak memilih, sehingga ia terbiasa untuk memecahkan sebuah permasalahan.

Contohnya ketika kita ketahui anak salah dalam mengambil keputusan, misalnya ketika ia berkata:"aku marah sama dia, ummi. Pokoknya aku harus balas perbuatan dia besok".

Nah inilah saat yang tepat untuk memasukkan pelajaran keterampilan mengelola emosi. Sikap kita yang pertama adalah empati dan merasakan kekesalan yang dialami anak, misalnya dengan berkata,"ummi tahu kamu kesal dan marah kepadanya, itu wajar nak.". Kemudian, baru memasukkan nilai kecerdasan emosional, misalnya dengan berkata,"tapi ummi tahu, kamu bukan anak pendendam, kan ummi pernah cerita berkahnya hidup orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Ingatkan nak?"

Lalu tambahkan lagi,"ketika kamu sudah tahu ilmunya, inilah saatnya kamu mengamalkan ilmumu, sebaiknya kamu sabar dan memaafkan ia. Tapi jangan lupa menasihati ia dengan berkata dengan tegas kepadanya,"saya tidak suka kamu memperlakukan begitu ke saya, sekarang saya maafkan, coba pikirkan, kamu juga tidak suka kan diperlakukan seperti itu?. Semoga kamu berubah lebih baik. Kamu bisa kok berubah, saya dukung kamu untuk menjadi lebih baik".

Kesimpulan

Kesimpulan dari komunikasi dan berdialog (untuk memasukkan nilai-nilai yang baik ke dalam hati sanubari anak) itu adalah anak jadi terlatih dan terbiasa untuk melihat dua sisi, sisi positif dan sisi negatif dari setiap tindakan atau pilihan yang dipilihnya. Akhirnya, ia akan menjadi bijak dan mampu berpikir tenang dalam setiap menghadapi masalah dan tantangan di masa depannya.


Sumber:
(1) http://business.financialpost.com/executive/careers/the-biggest-predictor-of-career-success-not-skills-or-education-but-emotional-intelligence

(2) http://www.news.vcu.edu/article/Study_Emotional_Intelligence_Predicts_Job_Performance


0 comments:

Post a Comment