Saya berjalan perlahan, memandangi sekeliling. Memandangi bangunan tinggi-tinggi bagai hendak mencakar langit. Pada siang itu cuaca panas, seperti biasa yang terjadi setiap hari di kawasan ini. Kawasan elit pusat bisnis di daerah ibukota. Daerah yang terkenal akan macet yang menggila, terlebih pada jam pergi atau pulang kantor.
Siang itu saya ditemani oleh beberapa orang kawan. Kawan seperjuangan di kantor. Tempat dimana saya berusaha menjemput nafkah. Untuk diberikan kepada keluarga tersayang di rumah. Kami melakukan perjalanan ke masjid, karena sebentar lagi iqamat akan dikumandangkan. Pertanda shalat Zuhur akan segera ditunaikan. Kami mempercepat perjalanan.
Setelah shalat, adalah sebuah rutinitas harian, kami melepas penat di teras masjid. Duduk-duduk santai, sambil menunggu para pekerja lain selesai menunaikan hajatnya, yaitu makan siang. Makan di tempat langganan kami. Tempat yang ramai pengunjung. Entah mengapa? Mungkin karena lebih murah harganya. Selisih seratuspun terasa berharga bagi warga ibukota. Oleh sebab itu, kami menunggu agak sepi dengan duduk sambil ngobrol-ngobrol bebas, bukan tentang pekerjaan tentunya.
Padahal, ada salah satu konsekuensi dari aktivitas menunggu ini. Akibat makan diakhirkan seperti ini, hampir dipastikan bahwa kami mendapat makanan sisa-sisa. Kadangkala lauk yang kami inginkan habis, walhasil kami makan apa adanya. Tapi ada juga efek positifnya, uang yang dikeluarkan dari
dompet kami menjadi sedikit. Karena yang sisa itu terkadang sayur asem ditambah tempe, atau sayur bayam plus tahu. Jadinya, kami bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada. Kami semua bergumam,"selalu ada hal positif di setiap kejadian". Kami bisa berhemat untuk pengeluaran yang satu ini.
Biasanya hal-hal yang diobrolkan mengenai seputar kehidupan, bagaimana kondisi anak-anak kami, kegiatan kami mengisi hari sabtu dan minggu, hal-hal lucu sehari-hari, dan lain lain.
Tetapi, hari ini berbeda. Topiknya hangat. Yaitu seputar kondisi di kantor. Tepatnya permasalahan di kantor. Di tempat mereka bekerja. Kalau sudah topik ini, saya sudah malas menanggapi. Hanya
mendengar dan mengangguk-angguk saja untuk menghormati mereka.
Bukan apa-apa, bukan pula tidak berempati kepada kawan. Namun, kondisi seorang teman setidaknya berpengaruh dan bisa menular. Saya takut kondisi mereka yang tidak bagus berimbas dan
menular ke saya. Tapi apa daya, mereka terus mencecar curhatannya tanpa bisa saya tolak.
Ada yang curhat tentang jabatannya yang tidak naik-naik, padahal ia sudah lama menduduki posisi yang sekarang. Dia berpikir bahwa dia bisa menduduki posisi yang lebih tinggi. Yang membuat ia
kesal adalah yang menduduki posisi yang ia incar adalah seorang anak muda. Ia menyebutnya sebagai anak kemarin sore. Hal ini membuat ia tidak bahagia di kantor. Ia mengalami de-motivasi. Hari-harinya suram belakangan ini.
Ada lagi yang mengeluh tentang lama waktunya perjalanan pulang dan pergi ke kantor. Rumahnya terletak di pinggiran kota. Yang ia keluhkan adalah pagi-pagi buta ia telah pergi ke kantor, seakan
berlomba dengan kokok ayam di samping rumahnya. Kadang ia yang menang, tapi kadang juga suara kokok ayam lebih dahulu menyapa sebelum ia keluar rumah. Itupun ia harus bersusah payah
melawan derita kemacetan di pusat ibukota. Batinnya berteriak lantang,"aduuuhh.. sudah sesak di dalam bus ini, ditambah macet parah... lengkap sudah penderitaan..". Sesampainya di kantor, tersisa
energi 70%. Energi yang dipakai untuk mengerjakan tugas-tugas di kantor yang berjubel. Sebagai pelengkap, perjalanan pulang kurang lebih sama seperti perjalanan pergi. Walhasil energi yang
tersisa hampir 20% untuk bercengkrama dengan keluarga tercinta di rumahnya. Itupun kalau sempat, lebih seringnya anak-anaknya sudah tidur sesampainya ia pulang. Ia telat pulang bukan karena
memilih lembur untuk mencari uang tambahan, namun ia menunggu kondisi jalan dan terurainya kemacetan. Padahal ibukota adalah kota dimana aktivitas malam masih ramai dan masih banyak
manusia berseliweran di jalan, sehingga "agak" percuma juga ia menunggu sepi, karena hampir tidak pernah terjadi.
Satu lagi, ia seorang yang rajin bekerja. Dari cara ia berbicara sudah terlihat bahwa kecerdasannya di atas rata-rata. Ternyata kepintaran tidak menjamin hidup bahagia bekerja di kantor. Akhirnya, apa
yang ia tahan keluar juga. Energi potensial yang ia pendam lama semakin besar, sehingga energi yang bertransformasi menjadi energi gerak, maka gerakannya cepat dan melesat lebih cepat dari anak
Ia mengeluh tentang pimpinannya di kantor. Ia bekerja di dalam satu tim yang terdiri dari dua orang. Pimpinannya lebih sering menunjuknya untuk menyelesaikan permasalahan operasional. Ia
memang orang yang dapat diandalkan. Beberapa proyek dan permasalahan yang melingkupinya ia selesaikan sendiri. Sementara teman satu timnya, jarang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah.
Sehingga kondisinya timpang, ibarat dua anak yang main ayunan, berat sebelah. Dia selalu di posisi yang bawah karena lebih berat, dan temannya di posisi atas.
Jika ia bekerja mati-matian menyelesaikan proyek pekerjaannya di kantor, ia melihat teman satu timnya masih sempat-sempatnya minum kopi sambil baca koran di pantry. Padahal itu jam-jamnya
sibuk (peak season), jam dimana para pekerja sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ia sangat heran dengan pimpinannya, dan selalu mempertanyakan mengapa selalu ia yang disuruh bekerja.
Ia selalu lebih sibuk dari rekan satu timnya. Load/beban pekerjaannya lebih berat dari rekannya. Padahal gajinya sama. Iapun berteriak di dalam hatinya,"ini tidak adil......"
Terakhir, ada yang curhat lagi. Ini terakhir kali, sebelum kami pergi ke tempat makan langganan kami. Ia rupanya tidak mau kalah untuk mengungkapkan kegelisahan hati saat berada di kantor. Ia
berkisah tentang anak buahnya yang tidak bisa apa-apa. Pernah diberi tanggung jawab, namun tidak amanah. Kemampuan bekerjanya di bawah rata-rata. Rasa-rasanya ia mau saja memecatnya,
minimal memindahkannya ke bagian lain. Namun apa daya, orang yang skillnya di bawah rata-rata itu merupakan "bawaan" bos besar. Jadi tidak bisa diganggu-gugat penempatannya. Dan orang yang
disuruh untuk "mendidik"nya adalah kawanku ini. Kawan yang sedang curhat sepenuh hati tentang anak buahnya di kantor.
Tidak ada solusi yang saya tawarkan kepada mereka. Lagipula, saya tidak konsentrasi mendengarkannya. Saya lebih konsentrasi mendengar suara-suara keroncongan yang berasal dari perut saya sendiri. Namun saya tunjukkan empati saya. Saya dengarkan keluhan mereka, walaupun tidak menawarkan solusi. Tapi mereka senang, didengarkan saja mereka sudah puas rasanya. Orang-orang menyebutnya "plong" rasanya.
Akhirnya, kamipun makan siang bersama. Melahapnya dengan nikmat, untuk sementara melupakan masalah-masalah yang tadi diuraikan. Ya, hanya sementara.
Siang itu saya ditemani oleh beberapa orang kawan. Kawan seperjuangan di kantor. Tempat dimana saya berusaha menjemput nafkah. Untuk diberikan kepada keluarga tersayang di rumah. Kami melakukan perjalanan ke masjid, karena sebentar lagi iqamat akan dikumandangkan. Pertanda shalat Zuhur akan segera ditunaikan. Kami mempercepat perjalanan.
Setelah shalat, adalah sebuah rutinitas harian, kami melepas penat di teras masjid. Duduk-duduk santai, sambil menunggu para pekerja lain selesai menunaikan hajatnya, yaitu makan siang. Makan di tempat langganan kami. Tempat yang ramai pengunjung. Entah mengapa? Mungkin karena lebih murah harganya. Selisih seratuspun terasa berharga bagi warga ibukota. Oleh sebab itu, kami menunggu agak sepi dengan duduk sambil ngobrol-ngobrol bebas, bukan tentang pekerjaan tentunya.
Padahal, ada salah satu konsekuensi dari aktivitas menunggu ini. Akibat makan diakhirkan seperti ini, hampir dipastikan bahwa kami mendapat makanan sisa-sisa. Kadangkala lauk yang kami inginkan habis, walhasil kami makan apa adanya. Tapi ada juga efek positifnya, uang yang dikeluarkan dari
dompet kami menjadi sedikit. Karena yang sisa itu terkadang sayur asem ditambah tempe, atau sayur bayam plus tahu. Jadinya, kami bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada. Kami semua bergumam,"selalu ada hal positif di setiap kejadian". Kami bisa berhemat untuk pengeluaran yang satu ini.
Biasanya hal-hal yang diobrolkan mengenai seputar kehidupan, bagaimana kondisi anak-anak kami, kegiatan kami mengisi hari sabtu dan minggu, hal-hal lucu sehari-hari, dan lain lain.
Tetapi, hari ini berbeda. Topiknya hangat. Yaitu seputar kondisi di kantor. Tepatnya permasalahan di kantor. Di tempat mereka bekerja. Kalau sudah topik ini, saya sudah malas menanggapi. Hanya
mendengar dan mengangguk-angguk saja untuk menghormati mereka.
Bukan apa-apa, bukan pula tidak berempati kepada kawan. Namun, kondisi seorang teman setidaknya berpengaruh dan bisa menular. Saya takut kondisi mereka yang tidak bagus berimbas dan
menular ke saya. Tapi apa daya, mereka terus mencecar curhatannya tanpa bisa saya tolak.
Ada yang curhat tentang jabatannya yang tidak naik-naik, padahal ia sudah lama menduduki posisi yang sekarang. Dia berpikir bahwa dia bisa menduduki posisi yang lebih tinggi. Yang membuat ia
kesal adalah yang menduduki posisi yang ia incar adalah seorang anak muda. Ia menyebutnya sebagai anak kemarin sore. Hal ini membuat ia tidak bahagia di kantor. Ia mengalami de-motivasi. Hari-harinya suram belakangan ini.
Ada lagi yang mengeluh tentang lama waktunya perjalanan pulang dan pergi ke kantor. Rumahnya terletak di pinggiran kota. Yang ia keluhkan adalah pagi-pagi buta ia telah pergi ke kantor, seakan
berlomba dengan kokok ayam di samping rumahnya. Kadang ia yang menang, tapi kadang juga suara kokok ayam lebih dahulu menyapa sebelum ia keluar rumah. Itupun ia harus bersusah payah
melawan derita kemacetan di pusat ibukota. Batinnya berteriak lantang,"aduuuhh.. sudah sesak di dalam bus ini, ditambah macet parah... lengkap sudah penderitaan..". Sesampainya di kantor, tersisa
energi 70%. Energi yang dipakai untuk mengerjakan tugas-tugas di kantor yang berjubel. Sebagai pelengkap, perjalanan pulang kurang lebih sama seperti perjalanan pergi. Walhasil energi yang
tersisa hampir 20% untuk bercengkrama dengan keluarga tercinta di rumahnya. Itupun kalau sempat, lebih seringnya anak-anaknya sudah tidur sesampainya ia pulang. Ia telat pulang bukan karena
memilih lembur untuk mencari uang tambahan, namun ia menunggu kondisi jalan dan terurainya kemacetan. Padahal ibukota adalah kota dimana aktivitas malam masih ramai dan masih banyak
manusia berseliweran di jalan, sehingga "agak" percuma juga ia menunggu sepi, karena hampir tidak pernah terjadi.
Satu lagi, ia seorang yang rajin bekerja. Dari cara ia berbicara sudah terlihat bahwa kecerdasannya di atas rata-rata. Ternyata kepintaran tidak menjamin hidup bahagia bekerja di kantor. Akhirnya, apa
yang ia tahan keluar juga. Energi potensial yang ia pendam lama semakin besar, sehingga energi yang bertransformasi menjadi energi gerak, maka gerakannya cepat dan melesat lebih cepat dari anak
panah yang keluar dari busurnya. Begitu juga ia, curhatannya melesat dari mulutnya sambil berekspresi seolah-olah ia orang paling malang di dunia.
Ia mengeluh tentang pimpinannya di kantor. Ia bekerja di dalam satu tim yang terdiri dari dua orang. Pimpinannya lebih sering menunjuknya untuk menyelesaikan permasalahan operasional. Ia
memang orang yang dapat diandalkan. Beberapa proyek dan permasalahan yang melingkupinya ia selesaikan sendiri. Sementara teman satu timnya, jarang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah.
Sehingga kondisinya timpang, ibarat dua anak yang main ayunan, berat sebelah. Dia selalu di posisi yang bawah karena lebih berat, dan temannya di posisi atas.
Jika ia bekerja mati-matian menyelesaikan proyek pekerjaannya di kantor, ia melihat teman satu timnya masih sempat-sempatnya minum kopi sambil baca koran di pantry. Padahal itu jam-jamnya
sibuk (peak season), jam dimana para pekerja sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ia sangat heran dengan pimpinannya, dan selalu mempertanyakan mengapa selalu ia yang disuruh bekerja.
Ia selalu lebih sibuk dari rekan satu timnya. Load/beban pekerjaannya lebih berat dari rekannya. Padahal gajinya sama. Iapun berteriak di dalam hatinya,"ini tidak adil......"
Terakhir, ada yang curhat lagi. Ini terakhir kali, sebelum kami pergi ke tempat makan langganan kami. Ia rupanya tidak mau kalah untuk mengungkapkan kegelisahan hati saat berada di kantor. Ia
berkisah tentang anak buahnya yang tidak bisa apa-apa. Pernah diberi tanggung jawab, namun tidak amanah. Kemampuan bekerjanya di bawah rata-rata. Rasa-rasanya ia mau saja memecatnya,
minimal memindahkannya ke bagian lain. Namun apa daya, orang yang skillnya di bawah rata-rata itu merupakan "bawaan" bos besar. Jadi tidak bisa diganggu-gugat penempatannya. Dan orang yang
disuruh untuk "mendidik"nya adalah kawanku ini. Kawan yang sedang curhat sepenuh hati tentang anak buahnya di kantor.
Tidak ada solusi yang saya tawarkan kepada mereka. Lagipula, saya tidak konsentrasi mendengarkannya. Saya lebih konsentrasi mendengar suara-suara keroncongan yang berasal dari perut saya sendiri. Namun saya tunjukkan empati saya. Saya dengarkan keluhan mereka, walaupun tidak menawarkan solusi. Tapi mereka senang, didengarkan saja mereka sudah puas rasanya. Orang-orang menyebutnya "plong" rasanya.
Akhirnya, kamipun makan siang bersama. Melahapnya dengan nikmat, untuk sementara melupakan masalah-masalah yang tadi diuraikan. Ya, hanya sementara.
0 comments:
Post a Comment